Selasa, 05 Juni 2012

Sistem Ekonomi Syariah


“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.”
~QS. Sad:24

Pembangunan Ekonomi seharusnya mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat berdasarkan azas demokrasi, kebersamaan, dan kekeluargaan yang melekat, serta mampu memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua pelaku ekonomi untuk berperan sesuai dengan bidang usaha masing-masing.

Untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, dibutuhkan sebuah bentuk kemitraan yang diartikan sebagai kerjasama pihak yang mempunyai modal dengan pihak yang mempunyai keahlian atau peluang usaha dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan
Kemitraan Syariah

Esensi kemitraan jika ditinjau dari sudut pandang tujuan perlindungan usaha adalah agar kesempatan usaha yang ada dapat dimanfaatkan pula oleh yang tidak mempunyai modal keuangan tetapi punya keahlian untuk memupuk jiwa wirausaha. Pada dasarnya kemitraan secara alamiah akan mencapai tujuannya jika kaidah saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan dapat dipertahankan dan dijadikan komitmen dasar yang kuat di antara para pelaku kemitraan.
Implementasi kemitraan yang berhasil harus bertumpu kepada persaingan sehat dan mencegah terjadinya penyalahgunaan posisi dominan dalam persekutuan usaha. Kekuatan dan vitalitas suatu kelompok masyarakat sangat bergantung kepada kemampuannya memenuhi kebutuhan-kebutuhan terhadap barang dan jasa bagi para anggotanya dan masyarakat lainnya. Produksi dan distribusi barang dan jasa menuntut sumber-sumber daya bukan saja keuangan, tetapi juga keahlian dan manajemen.

Meski demikian, tidak setiap orang dibekali sumber daya dengan suatu kombinasi optimal. Oleh karena itu, mutlak menghimpun semua sumber daya yang tersedia guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Penghimpunan sumber-sumber daya ini harus diorganisasikan dalam suatu cara yang saling menguntungkan atau altuaristis dengan konsep kemitraan yang sejajar di antara masing-masing pihak.

Dalam sistem ekonomi syariah dikenal beberapa bentuk kemitraan dalam berusaha, namun yang umum dikenal ada 2 (dua), yaitu Mudharabah dan Musyarakah.

Mudharabah

Mudharabah adalah sebuah bentuk kemitraan di mana salah satu mitra, yang disebut “shahibul-maal” atau “rabbul-maal” (penyedia dana) yang menyediakan sejumlah modal tertentu dan bertindak sebagai mitra pasif, sedangkan mitra yang lain disebut “mudharib” yang menyediakan keahlian usaha dan manajemen untuk menjalankan ventura, perdagangan, industri atau jasa dengan tujuan mendapatkan laba.

Mudharib merupakan orang yang diberi amanah dan juga sebagai agen usaha. Sebagai orang yang diberi amanah, ia dituntut untuk bertindak hati-hati dan bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi karena kelalaiannya. Sebagai agen usaha, ia diharapkan mempergunakan dan mengelola modal sedemikian rupa untuk menghasilkan laba optimal bagi usaha yang dijalankan tanpa melanggar nilai-nilai syariah Islam. Perjanjian mudharabah dapat juga dilakukan antara beberapa penyedia dana dan pelaku usaha.

Sedangkan secara ringkas, di dalam Ensiklopedia Hukum Islam, mudharabah dapat diartikan sebagai pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja/pedagang untuk diusahakan/dikelola sedangkan keuntungan dagang itu dibagi menurut kesepakatan bersama. Mudharabah dalam bahasa teknis keuangan dikenal dengan istilah kerjasama mitra usaha dan investasi atau trust financing/trust investment.

Secara umum, mudharabah terbagi atas dua jenis, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayadah.

1. Mudharabah Muthlaqah
Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal (penyedia dana) dengan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Penyedia dana melimpahkan kekuasaan yang sebesar-besarnya kepada mudharib untuk mengelola dananya.
2. Mudharabah Muqayyadah
Adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, di mana mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, dan tempat usaha yang telah diperjanjikan di awal akad kerjasama.

Musyarakah

Musyarakah merupakan suatu bentuk organisasi usaha di mana dua orang atau lebih menyumbangkan pembiayaan dan manajemen usaha, dengan proporsi sama atau tidak sama. Keuntungan dibagi menurut perbandingan yang sama atau tidak sama, sesuai kesepakatan, antara para mitra, dan kerugian akan dibagikan menurut proporsi modal.

Musyarakah secara bahasa berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Musyarakah dikenal juga dengan istilah “syirkah.” Menurut istilah fikih, syirkah adalah sesuatu akad antara dua orang atau lebih untuk berkongsi modal dan bersekutu dalam keuntungan.

Ketentuan tentang pembagian keuntungan dan petanggungjawaban kerugian persekutuan dalam syirkah, menurut M. Nejatullah Siddiqi adalah:

1. Kerugian merupakan bagian modal yang hilang, karena kerugian akan dibagi ke dalam bagian modal yang diinvestasikan dan akan ditanggung oleh para pemodal;
2. Keuntungan akan dibagi di antara para sekutu atau mitra usaha dengan bagian yang telah ditentukan oleh mereka dengan bagian atau prosentase tertentu, bukan dalam jumlah nominal yang pasti yang ditentukan oleh dan bagi pihak manapun;
3. Dalam suatu kerugian usaha yang berlangsung terus, diperkirakan usaha akan menjadi baik kembali melalui keuntungan sampai usaha tersebut menjadi seimbang kembali. Penentuan jumlah nilai ditentukan kembali dengan menyisihkan modal awal dan jumlah nilai yang tersisa akan dianggap sebagai keuntungan atau kerugian;
4. Pihak-pihak yang berhak atas pembagian keuntungan usaha boleh meminta bagian mereka hanya jika para penanam modal awal telah memperoleh kembali investasinya, atau pemilik modal melakukan suatu transfer yang sah sebagai hadiah kepada mereka.

Musyarakah dalam teknis lembaga keuangan dikenal sebagai kerjasama modal usaha atau partnership, project financing participation. Menurut Umer Chapra, musyarakah dalam prakteknya terdapat dalam berbagai model, para mitra dapat memberikan kontribusi bukan hanya modal dalam hal keuangan, tetapi juga tenaga, manajemen, dan keahlian, dan kemauan baik, meskipun tidak harus sama.

Aplikasi Musyarakah dalam praktek lembaga keuangan adalah berupa:

1. Pembiayaan Proyek
Lembaga keuangan dan pengusaha secara bersama-sama menyediakan dana untuk membiayai sebuah proyek. Setelah proyek selesai, pengusaha mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati kepada lembaga keuangan.
2. Modal Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diterapkan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu penyedia dana melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara langsung atau bertahap.

Kemitraan musyarakah dapat merupakan suatu bentuk kombinasi dari berbagai bentuk persekutuan. Persyaratan Syariah dalam membagi proporsi modal dan keuntungan dalam bermitra usaha adalah keadilan. Keadilan yang dimaksud bukanlah pemerataan secara mutlak, tetapi adalah keseimbangan antar individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dengan masyarakat, antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Dengan demikian keadilan dalam kemitraan usaha mengandung implikasi bahwa saham proporsional dalam laba harus merefleksikan kontribusi yang diberikan kepada usaha oleh modal mereka baik berupa keahlian, waktu, kemampuan manajemen, kemauan baik, dan kontrak, serta kerugian juga harus dirasakan bersama sesuai proporsi modal dan tuntutan-tuntutan lain yang timbul akibat usaha tersebut.

Dalam sebuah sistem perekonomian dengan perbedaan-perbedaan kekayaan yang begitu substansial, dan pemberian pinjaman modal yang menginginkan keuntungan tanpa terlibat resiko bisnis, adalah irrasional untuk dapat memberikan pinjaman kepada orang miskin sama banyaknya seperti halnya yang diberikan kepada orang-orang kaya, atau mengulurkan pinjaman sama banyaknya karena persyaratan yang sama bagi keduanya, seperti tingkat suku bunga yang sama atau bahkan lebih tinggi kepada pengusaha kecil daripada yang dikenakan kepada pengusaha besar, dan keharusan memiliki kolateral (jaminan) dengan nilai yang lebih tinggi dari pinjaman modal dengan mengabaikan kenyataan apakah mereka akan menghasilkan keuntungan di atas rata-rata dari investasi modal mereka. Hal ini merupakan preseden buruk bagi masyarakat karena akan mengakibatkan pemihakan kepada satu kelas sosial tertentu saja, dan menimbulkan kegagalan masyarakat dalam memanfaatkan bakat wirausahanya secara maksimal.

Penggunaan sistem kemitraan bagi hasil berdasarkan Syariah diharapkan mampu menanggulangi permasalahan modal dan peluang usaha yang terjadi selama ini karena akan menyuburkan kemampuan wirausaha di kalangan anggota masyarakat yang lemah dari sisi permodalan, sehingga usaha kecil dan mikro mampu menyumbang kepada output, lapangan pekerjaan, dan distribusi pendapatan. Dengan adanya penanggungan resiko dan keuntungan bersama oleh lembaga keuangan akan mengurangi beban pengusaha pada saat-saat sulit dan mengganti membayar lebih tinggi pada masa-masa untung, dan lembaga keuangan bersedia menanggung resiko usaha tanpa mengurangi kekuatan finansialnya, karena terbangunnya sistem pencadangan pengganti kerugian (loss-offsetting reserves).
Skema Pendanaan Bank Syariah

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.”
~QS. Al-Maidah:2

Sejak dekade 1970, umat Islam di berbagai negara telah berusaha untuk mendirikan bank-bank Syariah (Islam). Tujuan dari pendirian tersebut pada umumnya untuk mempromosikan dan mengembangkan aplikasi dari prinsip-prinsip syariah Islam dan tradisinya ke dalam transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait.

Bank Syariah, sebagai salah satu fungsinya adalah intermediary antara pemilik dana (sahibul maal) dengan pengguna dana (mudharib). Dengan demikian, Bank Syariah harus memiliki suatu sumber untuk menghimpun dana sebelum disalurkan kepada masyarakat pengguna dana. Sumber dana masyarakat beserta transaksi yang tidak bertentangan dengan syariah Islam adalah:

1. Modal, yaitu dana dari pendiri atau pemilik saham lembaga perbankan syariah tersebut yang digunakan, terutama, untuk kegiatan operasional dan investasi;
2. Wadiah, yaitu dana titipan masyarakat yang dikelola oleh Bank untuk menjalankan usahanya;
3. Dana Investasi (Mudarabah at-Mutlaqah), yaitu dana masyarakat yang diinvestasikan melalui bank dana (pool of fund);
4. Investasi Khusus (Mudharabah Muqayadah), yaitu dana investasi khusus yang ditujukan pada proyek-proyek khusus atau terbatas sesuai dengan kesepakatan pihak investor dengan Bank.

Untuk menjalankan fungsi bank sebagai penghimpun dana masyarakat, Bank Syariah dapat menghimpun dana pihak ketiga. Dalam penghimpunan dana masyarakat, Bank Syariah dapat menggunakan produkproduk yang telah dikenal, seperti giro, tabungan atau deposito dengan formulasi yang berbeda dengan cara bank konvensional, yakni dengan skim wadiah dan mudharabah.

Wadiah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga harta/ barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu.

Landasan Syariah Wadiah adalah:

* “Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu agar menyampaikan amanat kepada ahlinya” (QS. An-Nisa’:58)
* “Dan hendaklah orang yang diberikan amanat itu menyampaikan amanatnya.” (QS. Al-Baqarah: 283)
* “Tunaikanlah amanah yang dipercayakan kepadamu dan janganlah kamu mengkhianati terhadap orang yang telah mengkhianatimu.” (HR: Riwayat Abu Dawud dan Tirmizi)

Ijma para ulama dari zaman dulu sampai sekarang telah menyepakati akad wadiah ini karena manusia memerlukannya dalam kehidupan muamalah.

Rukun Wadiah terdiri atas pihak yang berakad yakni orang yang menitipkan (muwaddi’) dan orang yang dititipkan barang (wadii’); obyek (barang) yang diakadkan; sighot, yakni serah (ijab) dan terima (qabul).

Syarat Wadiah yang harus dipenuhi adalah pihak yang berakad harus cakap hukum dan sukarela (ridha), tidak dalam keadaan dipaksa/ terpaksa di bawah tekanan; obyek yang dititipkan merupakan milik mutlak si penitip (muwaddi’); sighot harus jelas apa yang dititipkan dan tidak mengandung persyaratan-persyaratan lain.

Wadiah terdiri dari 2 jenis, yakni:

1. Wadiah yad al-Amanah
Pada keadaan ini, titipan hanya merupakan amanah semata dan tidak ada kewajiban bagi wadi’ untuk menanggung kerusakan kecuali karena kelalaiannya.
2. Wadiah yad ad-Damanah
Pada keadan ini, wadi’ menanggung kerusakan atau kehilangan pada wadiah, oleh karena memanfaatkan titipan tersebut atau suatu sebab lain.

Jenis produk perbankan yang dapat diaplikasikan dengan menggunakan akad wadiah adalah giro bank. Karena giro bank, pada dasarnya adalah penitipan dana masyarakat di Bank untuk tujuan pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan setiap saat, hal ini sesuai dengan UU Perbankan No. 7 tahun 1992. Artinya, giro hanyalah merupakan dana titipan nasabah, bukan dana yang dapat dinvestasikan.

Giro pada Bank Syariah diberlakukan sebagai Wadiah yad ad-Damanah. Dana titipan ini dapat digunakan Bank Syariah sebagai penerima titipan selama dana tersebut mengendap di Bank, tetapi bank punya kewajiban untuk membayar setiap saat jika nasabah mengambil titipan tersebut. Sebagai imbalan dari titipan yang dimanfaatkan oleh Bank Syariah, maka bank dapat memberikan imbal jasa dari pemanfaatan dana yang mengendap dalam bentuk bonus. Namun bonus tersebut tidak boleh diperjanjikan sebelumnya dan merupakan hak penuh Bank Syariah untuk memberikan atau tidak.

Bentuk dana masyarakat lain yang dapat dikelompokkan dalam Wadiah yad Ad-Damanah adalah Rekening Tabungan tidak berjangka dan dapat ditarik setiap saat.

Sedangkan Mudarabah (sebagian ahli menyebutnya Qirad) adalah suatu bentuk perniagaan di mana pemilik modal (sahibul maal) menyetorkan sejumlah modal kepada pengusaha (mudharib) guna diusahakan dengan keuntungan yang akan dibagi bersama sesuai dengan kespakatan dari kedua belah pihak, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal.

Landasan Syariah Mudarabah adalah bahwa para ulama sepakat, mudarabah diperbolehkan seperti dinyatakan dalam Al Quran, yakni: “Dan orang-orang yang lain berjalan di muka bumi mencari keutamaan Allah” (Al Muzammil:20)

Ayat di atas menjelaskan bahwa mudarabah (berjalan di muka bumi) dengan tujuan mendapatkan keutamaan dari Allah (rezki). Dalam ayat yang lain, Allah berfirman: “Maka apabila sholat (Jum’at) telah ditunaikan, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah keutamaan Allah.” (Al Jumuah:10)

Ayat-ayat senada masih banyak ditemukan dalam Al Quran yang dipandang oleh para fuqoha sebagai basis dari diperbolehkannya mudarabah.

Landasan Syariah Mudarabah juga terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Suhaib bahwa Rasulullah bersabda: “Tiga perkara yang di dalamnya terdapat berkah yaitu jual beli secara tangguh, mudarabah, dan mencampur gandum dan jelai untuk kepentingan keluarga dan bukan untuk dijual.”

Rukun Mudarabah terdiri atas Pihak yang berakad yakni Pemilik Modal (sohibul maal) dan Pengelola Dana (mudarib); Obyek yang diakadkan terdiri dari Modal (maal), Kerja, Keuntungan; Sighot, yakni Serah (ijab) dan Terima (qabul).

Syarat yang harus dipenuhi dalam akad mudarabah adalah: Pihak yang berakad (sohibul maal dan mudarib) yang keduanya harus memiliki kemampuan untuk diwakili dan mewakilkan; obyek yang diakadkan adalah modal, kerja, dan nisbah yang harus dijelaskan besaran modal yang disetorkan kepada mudarib, jumlah dan mata uangnya, jangka waktu pengelolaan modal, jenis pekerjaan yang menjadi obyek mudarabah, dan proporsi pembagian keuntungan; sighot yang harus jelas dan disebutkan secara spesifik dengan siapa berakad, antara ijab qabul harus selaras baik dalam modal, kerja, maupun penentuan nisbah, tidak mengandung klausul yang bersifat menggantungkan keabsahan transaksi pada hal/kejadian yang akan datang.

Secara umum mudaharabah dapat dibagi menjadi dua macam golongan, yaitu:

1. Mudarabah mutlaqah, yaitu akad mudarabah yang tidak mengandung ikatan tertentu;
2. Mudarabah muqayyadah, yaitu akad mudarabah yang mencantumkan peryaratan-persyaratan tertentu.

Dalam teknis operasional, Bank Syariah menerapkan akad mudaharbah untuk deposito dan tabungan. Nasabah bertindak sebagai sohibul maal dan bank selaku mudharib. Penerapan mudharabah pada deposito didasarkan kepada kesesuaian terhadap jangka waktu antara penyetoran dan penarikan dana, biasanya dalam waktu 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan. Deposito dan tabungan mudharabah mendapat keuntungan berupa bagi hasil dari pendapatan bank.

Dengan demikian dalam menyimpan atau menginvestasikan dana pada Bank Syariah, akad yang digunakan juga berlandaskan kepada Syariah dan ditujukan guna lancarnya roda perekonomian suatu bangsa, dan ajaran Islam mengajarkan kepada kita bahwa uang tidak boleh disimpan tanpa manfaat, tetapi harus dapat dimanfaatkan sebagai aktiva produktif yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada distribusi pendapatan seluruh umat.
Aqad Pembiayaan Bank Syariah

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bemuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”
~QS. Al-Baqarah: 282

Bank Syariah merupakan salah satu aplikasi dari sistem ekonomi syariah Islam yang merupakan bagian dari nilai-nilai dan ajaran Islam yang mengatur bidang perekonomian umat dan tidak terpisahkan dari aspek-aspek lain ajaran Islam yang komprehensif dan universal. Komprehensif berarti ajaran Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual maupun sosial kemasyarakatan termasuk bidang ekonomi, universal bermakna bahwa syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat tanpa memandang perbedaan ras, suku, golongan, dan agama sesuai prinsip Islam sebagai “rahmatan lil alamin”.

Perbankan konvensional yang beroperasi saat ini mempunyai beberapa kelemahan, salah satu adalah dapat terjadinya negative spread pada siklus waktu tertentu. Sehingga effektivitas perbankan konvensional yang berbasiskan bunga dalam pembangunan ekonomi mulai dipertanyakan. Para ahli ekonomi dunia banyak mengkaji hal tersebut dan mencari alternatif metode pembiayaan guna memperbaiki sistem ekonomi kapitalis sekuler yang membuat jurang kesejahteraan ekonomi semakin dalam. Bank Syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi syariah, mencoba mereduksi kelemahan tersebut.

Bank Syariah dalam menjalankan bisnis dan usahanya juga tidak terlepas dari saringan syariah. Oleh karena itu, Bank Syariah tidak akan mungkin membiayai usaha-usaha yang di dalamnya terkandung hal-hal yang diharamkan, proyek yang menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas, berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila, perjudian, peredaran narkoba, senjata illegal, serta proyek-proyek yang dapat merugikan syi’ar Islam.

Produk-produk yang dimiliki oleh Bank Syariah dibuat untuk memfasilitasi usaha yang meliputi seluruh pelayanan yang dapat menggantikan pelayanan perbankan konvensional. Produk pembiayaan pada Bank Syariah menggunakan beberapa konsep aqad muamalah, antara lain sebagaimana yang dibahas berikut ini.

Al Musyarakah (Kerjasama Modal Usaha)

Al Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dan masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Al Musyarakah dalam aplikasi perbankan Syariah dapat berbentuk:

1. Pembiayaan Proyek, yaitu nasabah dan Bank Syariah sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana yang digunakan beserta bagi hasil yang telah disepakati di awal perjanjian (ijab-qabul).
2. Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh Bank Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu Bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada pemegang saham perusahaan.

Al Mudharabah (Kerjasama Mitra Usaha dan Investasi)

Al Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dengan ketentuan pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola, dan keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

Aplikasi Al Mudharabah dalam pembiayaan Bank Syariah adalah berbentuk:

1. Pembiayaan Modal Kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
2. Investasi Khusus, disebut juga “mudharabah muqayyadah“, adalah pembiayaan dengan sumber dana khusus, di luar dana nasabah penyimpan biasa, yang digunakan untuk proyek-proyek yang telah ditetapkan oleh nasabah investor (shahibul maal).

Al Murabahah (Jual Beli dengan Pembayaran Tangguh)

Al Murabahah adalah jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati dengan ketentuan penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan (margin) sebagai tambahannya.

Dalam transaksi Al Murabahah harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah;
2. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang telah ditetapkan;
3. Kontrak harus bebas dari riba;
4. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli jika terjadi cacat atas barang setelah pembelian;
5. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian.

Aplikasi Al Murabahah pada Bank Syariah adalah untuk pembiayaan pembelian barang-barang investasi. Al Murabahah adalah kontrak untuk sekali akad (one short deal), sehingga kurang tepat jika digunakan untuk pembiayaan modal kerja.

Bai’ as Salam (Pesanan Barang dengan Pembayaran di Muka)

Bai’ as salam berarti pemesanan barang dengan persyaratan yang telah ditentukan dan diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan sebelum barang diterima.

Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighot).

Bai’ as Salam berbeda dengan ijon, sebab pada ijon, barang yang dibeli tidak diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli sangat tergantung kepada keputusan si tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat. Aplikasi Bai’ as Salam pada Bank Syariah biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Bank dapat menjual kembali barang yang dibeli kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, atau grosir. Penjualan kembali kepada pembeli kedua ini dikenal dengan istilah “salam paralel”.

Bai’ al Istishna’ (Jual Beli Berdasarkan Pesanan)

Transaksi Bai’ al Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang melalui pesanan, pembuat barang berkewajiban memenuhi pesanan pembeli sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pembayaran dapat dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai batas waktu yang telah ditentukan.

Dalam sebuah kontrak Bai’ al Istishna, pembeli dapat mengizinkan pembuat barang menggunakan sub kontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat barang dapat membuat kontrak istishna kedua untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak seperti ini dikenal sebagai Istishna’ Paralel.

Al Ijarah (Sewa/Leasing)

Al Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership) atas barang itu sendiri. Dalam perkembangannya kontrak Al Ijarah dapat pula dipadukan dengan kontrak jual-beli yang dikenal dengan istilah “sewa-beli” yang artinya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang oleh si penyewa pada akhir periode penyewaan.

Dalam aplikasi Bank Syariah, Al Ijarah dapat dioperasikan dalam bentuk operating lease maupun financial lease, namun pada umumnya Bank biasanya menggunakan Al Ijarah dalam bentuk sewa-beli karena lebih sederhana dari sisi pembukuan, dan Bank tidak direpotkan untuk pemeliharaan asset, baik saat leasing ataupun sesudahnya.

Qard al Hasan (Pinjaman Kebajikan)

Qard adalah akad yang dikhususkan pada pinjaman dari harta yang terukur dan dapat ditagih kembali serta merupakan akad saling Bantu membantu dan bukan merupakan transaksi komersial.

Salah satu fungsi Bank Syariah adalah ikut serta dalam kegiatan sosial, yang diaplikasikan dengan menyalurkan dana dalam bentuk qard dari dana yang dihimpun dari hasil zakat, infaq, dan sadaqah.

Qard al Hasan adalah produk perbankan syariah untuk nasabah yang membutuhkan dana untuk keperluan mendesak dengan kriteria tertentu dan bukan untuk tujuan konsumtif. Pengembalian pinjaman ditentukan dalam jangka waktu tertentu dan dapat dikembalikan sekaligus atau diangsur tanpa tambahan atas dana yang dipinjam.

Dengan demikian, dapat kita lihat, bahwa Bank Syariah mempunyai produk yang jauh lebih lengkap dari Bank Konvensional yang semata-mata hanya menggunakan akad pinjam meminjam dan mengandalkan pendapatannya dari nilai waktu atas uang yang dipinjamkannya kepada nasabah (debitur) bank tersebut.

Total Tayangan Halaman

Category

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Translator

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Twitter

Muhammad Tarmizi Blog. Diberdayakan oleh Blogger.

Search this blog

Design by BlogSpotDesign | Ngetik Dot Com